Rabu, 25 Juni 2008

Puri Gede Karangasem Gelar Pameran Keris

Panglingsir (tetua) Puri Gede Karangasem benar-benar berkomitmen melestarikan budaya leluhur. Terbukti dengan diselenggarakannya Pameran Keris untuk yang kedua kalinya. Pameran yang digagas Panglingsir Puri Gede Karangasem, Anak Agung Bagus Ngurah Agung, SH, MM, dilaksanakan di Puri Gede Karangasem yang terletak di ujung timur pulau Bali.
Pameran yang diikuti beberapa paguyuban keris di pulau dewata ini, bekerjasama dengan Museum Seni Neka, Ubud. Menurut Anak Agung Bagus Ngurah Agung, dijalinnya kerjasama dengan Museum Seni Neka, karena pendiri Museum Seni Neka yang juga kolektor keris, Pande Wayan Suteja Neka, telah menunjukan bukti nyata dalam pelestarian keris. Terbukti dengan ketulusaanya memperluas koleksi museum yang terletak di Sanggingan, Ubud, dengan koleksi keris. Selain itu, Suteja Neka merupakan salah satu panglingsir dalam dunia pakerisan di Bali. “Suteja Neka telah terbukti komitmennya dalam pelestarian seni budaya, terutama seni lukis dan keris,” tegasnya.
Sedangkan menurut Suteja Neka, dijalinnya kerjasama dengan Puri Gede Karangasem, karena adanya persamaan visi dan misi dalam pelestarian budaya, sebagai sumber inspirasi, informasi, sarana pendidikan, penelitian dan menunjang program pemerintah dalam obyek pariwisata budaya. Selain itu, juga karena adanya salah satu pusaka Museum Seni Neka berasal dari Puri Gede Karangasem yaitu Ki Baju Rante. Dimana pusaka tersebut dibuat pada abad ke 17 oleh mpu keris yang bernama Pande Rudaya dari desa Jari, Karangasem. “Ki Baju Rante merupakan salah satu koleksi unggulan Museum Seni Neka,” ujar Suteja Neka.
Sedangkan Bupati Karangasem yang diwakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karangsem, sangat mendukung dengan kegiatan pameran tersebut, dan mengharapkan agar kegiatan semacam itu dilaksanakan setiap tahun. “Dengan adanmya pameran semacam ini, kita berharap masyarakat berperan aktif dalam pelestarian seni dan budaya,” terangnya.
Pameran dibuka Rabu (18/06) lalu, dengan menghunus keris, secara bersamaan oleh Pande Wayan Sauteja Neka, AA Bagus Ngurah Agung, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karangasem. Pameran yang diselingi dengan seminar tentang keris berlangsung sampai 25 Juni 2008.

Kisah Pilu Keluarga Wayan Landuh, Diselimuti Papasangan, Datangi 68 Balian

Kebrebehan yang dialami keluarga Wayan Landuh tiada hentinya, sampai akhirnya anaknya yang ketiga menderita sakit aneh sejak 4 tahun yang lalu. Bahkan demi kesembuhan anaknya, ia rela mendatangi 2 orang dokter dan 3 orang balian dalam sehari.

Penderitaan yang dialami keluarga Wayan Landuh sameton yang berasal dari Banjar Kepitu, Kendran Tegallalang, tak kunjung usai. Ia hadapi semua permasalahan dengan sabar, walaupun kadang-kadang ia juga emosi. Bahkan pernah pada suatu hari ia datang kepemuwunan setra di desanya, ia memohon agar nyawa anaknya di cabut, akhirnya ia sadar dan tidak tega nyawa anaknya dicabut begitu saja.
Pada awalnya ia sangat bangga dengan anak ketiganya karena anaknya begitu pintar, bahkan pada usia tiga tahun anaknya sudah bisa menulis. Namun kebanggaan itu tidak berlangsung lama, pada usia yang sama anaknya menderita penyakit aneh. Pada suatu hari, empat tahun yang lalu, anaknya ketiganya yang bernama Komang Sudibia menderita panas dan kejang-kejang, tanpa pikir panjang anaknya dibawa ke rumah sakit, saat itu dokter mengatakan epilepsy.
Enam bulan kemudian penyakit itu kambuh lagi, jelang setahun penyakit itu kembali kambuh, bahkan dalam sehari bisa kejang sampai 25 kali. “Tiang heran penyakit apa yang dideritanya, padahal rutin minum obat epilepsy selama 2 tahun tanpa putus, tetapi penyakitnya tidak kunjung sembuh, justru semakin parah,” jelasnya, seraya mengatakan dokter yang memeriksanya juga heran, karena kalau rutin minum obat selama dua tahun penyakit epilepsy pasti sembuh.
Bahkan, dulu anaknya pernah sampai kolok dan lumpuh, berminggu-minggu opname di rumah sakit, penyakitnya juga tidak sembuh, akhirnya ia memutuskan membawanya ke balian, anehnya saat diberikan tirta anaknya dengan seketika bisa ngomong dan juga berjalan. “Semenjak saat itu, tiang yakin dengan niskala, berobat ke dokter tetap tiang lakukan,” ungkapnya.
Anehnya, dulu sewaktu ia dan keluarganya masih ngontrak di Gianyar, setiap pulang kampung, walaupun tidak menginap di rumah kelahirannya, penyakit anehnya yang diderita anaknya pasti kambuh. “Tiang sampai heran, apa yang menyebabkan, sehingga setiap diajak pulang penyakit aneh yang diderita anaknya selalu kambuh,” jelasnya, seraya mengatakan kalau dirinya sempat putus asa, sehingga pada saat rarahinan Kajeng Kliwon mengajak anaknya ke pemuwunan, disana ia memohon agar nyawa anaknya dicabut, namun setelah sadar ia memohon agar diberikan ketabahan.
Bahkan salah seorang iparnya menasehati agar ia sabar merawat anak ketiganya, karena jengkel, ia menyuruh iparnya untuk mencoba kesabaran merawat anaknya, hanya seminggu ia sudah tidak sabar. “Hanya seminggu ipar tiang sudah tidak kuat, sedangkan tiang bertahun-tahun, tapi pelan-pelan bisa menghadapi semua itu dengan sabar,” akunya.
Dirinya yakin penyakit aneh yang diderita anaknya karena ulah manusa sakti, bahkan ia tahu orang-orang yang menggangu keluarganya, namun ia tidak benci, justru sebaliknya. Ia tidak mau membalas kejahatan orang-orang tersebut, dirnya hanya pokus pada penyembuhan anaknya. “Dulu tiang sempat ingin belajar pengiwa, namun setelah tiang tanyakan apakah akan berteman dengan yang nyakitin atau bermusuhan, dikatakan berteman, dan tiang tidak jadi belajar pengiwa,” terangnya.
Dulu, saat kehilangan kesabaran dirinya kerap kali mengundang leak, agar dirinya yang disakiti, bukan anaknya. Namun, setelah mendapat nasehat dari beberapa orang sulinggih, ia tidak lagi melakukan itu. Dirinya berusaha dengan sabar dan tulus agar anaknya bisa sembuh.

Papasangan Garuda Mas
Berharap agar anaknya sembuh total, Wayan Landuh selalu menuruti saran rekanya. Bahkan ia telah mendatangi 68 balian dan puluhan dokter dari dokter umum sampai spesialis. Bahkan, beberapa dokter spesial bingung akan penyakit yang diderita Komang Sudibia yang sekarang telah berusia 7 tahun. “Beberapa dokter spesialis akirnya menyerah tidak mampu menangani penyakit yang diderita anak tiang,” ujarnya, anaknya sudah berkali-kali opname, namun tidak sembuh dan akhirnya pulang paksa.
Walaupun demikian, lelaki berbadan kekar ini tidak pernah putus asa, ia mendatangi balian dari ujung timur hingga barat, apa yang dikatakan balian selalu ia turuti, namun hasilnya nol. Bahkan, ada balian yang menyuruhnya nuntun Betara Hyang dan juga mecaru, tetapi juga tidak ada hasilnya. Justru penyakit anaknya semakin menjadi.
“Tiang bawa ke balian itu, penyakit anak tiang kambuh, kejang sampai pagi hari, balian itu seenaknya mengaku sedang bertempur dengan yang menyakiti. Tiang tidak marah dengan balian itu, justru apa yang telah tiang lakukan merupakan yadnya,” tegasnya. Anehnya setiap diberikan sasikepan oleh balian, selang beberapa hari selalu hilang dan tidak ditemukan lagi.
Akhirnya, dirinya bertemu dengan Ida Bagus Sulinggih, Pinisepuh Perguruan Tenaga Dalam Brahma Wisesa. Dan dirinya berkonsultasi, dikatakan kalau dirumahnya ada papasangan. Saat itulah ia tahu kalau dirumahnya berisi banyak papasangan. Dan setelah dilakukan ritual penarikan, akhirnya didapatkan beberapa papasangan, bahkan hampir semuanya kelas super. Papasangan yang terdapat terdiri dari tulang manusia, beberapa rarajahan dan juga peripihan mas, dan yang juga rarajahan Garuda Mas. “Mungkin papasangan itu yang menyebabkan keluarga tiang selalu mengalami kebrebehan, termasuk anak tiang,” jelasnya.
Sejatinya ia dari dulu yakin kalau penyakit yang diderita ankanya bukan penyakit medis, walaupun demikian dirinya selalu melakukan pengobatan secara medis maupun non medis. “Setiap dibawa ke balian pasti ada perubahan walaupun sebentar, dibandingkan di bawa kedokter tidak ada perubahan sama sekali, karena itulah tiang cendrung mendatangi balian,” akunya.
Dirinya berharap setelah papasangan itu diangkat, digeseng dan dilarung ke segara, penyakit yang diderita anaknya sembuh. “Tanpa tiang sadari, selama ini hidup tiang diselimuti papasangan, tiang hanya berharap yang melakukan itu sadar, dan tiang tidak dendam dengan orangnya, justru tiang akan bersikap baik,” tegasnya.
Demi kesembuhan anaknya, dirinya akan melakukan segala upaya. “Tiang ingin anak itu tumbuh dan berkembang seperti anak seusianya, tidak seperti sekarang selalu bergelut dengan penyakit aneh, yang selalu kambuh menjelang rarahinan,” harapnya.

Selasa, 24 Juni 2008

Pura Samuan Tiga, Cikal Bakal Berdirinya Khayangan Tiga

Sejarah pendirian Pura Samuantiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya prasasti prakempa, purana ataupun babad sampai saat ini belum banyak diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan tentang keberadaan Pura Samuantiga.

Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana, Semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Samuantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X. Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. Seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah.
Samuatiga secara etimologi. Kata Samuantiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan atau penyatuan tiga hal atau musyawarah segitiga. Dalam lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, disebutkan pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuantiga sampai sekarang.
Pemberian nama Samuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna.
Pelaksanaan musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Dalam Babad Pasek disebutkan, saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga.
Pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan Kahyangan Tiganya. Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah : Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai. Kemudian Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis).
Mengingat pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah berkembang. Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti. Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya.
Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Masyarakt pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada Hal ini karena pura Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Siat sampian 
Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, punya tradisi menghelar siat sampian (perang sampian). Atraksi bernuansa magis itu selalu digelar saat piodalan. Ratusan warga berpakian adat putih-putih saling memukulkan sampian dari bahan janur. Para penari laki disebut sebagai parekan (abdi) dan penari wanita dinamakan permas. Namun, permas umumnya orang yang sudah berusia uzur. Mereka mengenakan kampuh (kain) warna hitam dan setelan baju warna putih. Jumlah penari siat sampian bisa 350 sampai 450 orang.
Ketua Paruman Pura Samuan Tiga, Wayan Patera menyebutkan kepada Koran ini menjelaskan, penari yang terlibat disini tidak ditentukan. Mereka menari sukarena berdasar keyakinannya. "Tidak ada proses pemilihan penari," kata Patera yang juga Prebekel Bedulu. Menariknya, penari siat sampian kebanyakan warga yang sebelumnya mendapatkan berbagai cobaan hidup, misalnya sakit lama. Saat itulah mereka berkaul untuk menari sampian bila bisa sembuh.

Ngambeng Ke Rumah-Rumah
Puluhan bocah sejak pagi terlihat di jalan-jalan di lingkungan desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar. Bahkan, mereka terlihat memasuki rumah-rumah penduduk. Mereka memasuki rumah penduduk untuk meminta pelbagai hasil bumi untuk kegiatan Upacara agama atau Odalan di Pura Samuan Tiga. Dan kegiatan ini memang tergolong unik, karena sangatlah jarang menjelang odalan di Pura, anak -anak masuk rumah beramai -ramai untuk meminta pemilik rumah menyerahkan sejumlah hasil bumi yang dimiliki.
Seperti yang dijelaskan oleh, I Wayan Patra, Ketua Paruman Pura Samuan Tiga mengatakan, kegiatan ini sudah dilakukan sejak berdirinya Pura Samuan Tiga di abad ke X , dan tradisi ini dilakukan secara turun -temurun di Desa Pekraman Bedulu, Blahbatuh, Gianyar.
Menurut kepercayaan penduduk setempat anak-anak tersebut dianggap lugu, dan perawan. Dan anak-anak yang rata-rata berumur 8-13 tahun tersebut dianggap sebagai simbolis Dewa yang memberikan piteket ( tanda) kepada penduduk bahwa odalan bakal tiba, dan penduduk diharapkan untuk bersiap sedia menyambut odalan.
"Tradisi ngambeng ( mempertajam) atau piteket ini merupakan tradisi turun temurun di wilayah kami menjelang piodalan di Pura Samuan Tiga," jelasnya.
Mereka melakukannya dengan spontan pada saat 15 hari sebelum odalan dimulai, dan hal ini dilakukan selama 1 Minggu, setelah mereka mendapatkan hasil bumi dan diserahkan kepada pengurus Pura, mereka mendapatkan ganti ( pica) berupa makanan untukdibawa pulang.

Museum Seni Neka, Museum Swasta Terbaik di Tanah Air

Museum Seni Neka, yang pendiriannya mendapat inspirasi dari ketokohan I Wayan Neka (1917-1980) seorang pemahat spesialis patung garuda anggota Pita Maha dibuka tahun 1976. Namun, museum milik Pande Wayan Sutaja Neka ini baru diresmikan pada tahun 1982 oleh Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Dibangun diatas area seluas sekitar 10.000 meter persegi dengan luas bangunan sekitar 4.000 meter persegi, Museum Seni Neka kini memiliki delapan gedung. Gedung itu dibagi menjadi ruang-ruang dan tiap ruang diisi koleksi yang menggambarkan sejarah perjalanan seni lukis di Bali. “ Dengan menelusuri ruang demi ruang itu, orang sudah mendapat referensi yang cukup tentang sejarah seni lukis Bali dan Indonesia umumnya.
Koleksinya yang kini mencapai lebih dari 400 lukisan dari semula hanya 100 buah, membuktikan museum ini memdapat sentuhan penanganan yang serius. Bahkan di museum ini juga ada dua pavilion khusus yang memajang karya-karya pelukis legendaris I Gusti Nyoman Lempad dan bapak Young Artist Arie Smit. Maka tak berlebihan jika Museum Seni Neka kini menempati posisi sebagai salah satu museum swasta terdepan di Tanah Air.
Pengelompokan ini memang bak menuntun pengunjung menelusuri sejarah perkembangan seni lukis di Bali serta tokoh-tokohnya. Pertama, pengunjung diajak mengapresiasi lukisan gaya wayang klasik (seperti karya Mangku Mura, I Nyoman Mandra, dan Nyoman Arcana), kemudian lukisan gaya Ubud (karya I Gusti Ketut Kobot A.A Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, dan Ida Bagus Rai ), gaya Batuan (karya Ida Bagus Wija, Ida Bagus Togog hingga generasi I Made Budi dan I Wayan Bendi), gaya Young Artist (karya I Nyoman Tjakra, I Ketut Soki dan I Made Sinteg), lukisan kontemporer Bali (karya Ida Bagus Nyoman Rai, I Gusti Made Deblog, hingga Dewa Nyoman Batuan, I Nyoman Gunarsa, Made Wianta, dan Nyoman Erawan hingga Pande Ketut Taman, karya seni lukis kontemporer Indonesia (karya Srihadi Sudarsono, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Fadjar Sidik, Bagong Kussudiardja, hingga Widayat dan 10 karya sang maestro Affandi). Selain itu ada ruangan yang memajang karya pelukis mancanegara seperti karya Rudolf Bonnet, Willem Gerard Hofker, Donald Friend, Han Snel, Theo Meier, Paul Husner serta Antonio Maria Blanco.
Memasuki usia 25 tahun, Museum Seni Neka mengembangkan koleksinya berupa, karya mpu keris masa lalu dan masa kini. Pengembangan museum dengan koleksi keris tidak terlepas dari pengakuan UNESCO. UNESCO sebagai badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan sejak 25 Nopember 2005 mengukuhkan Keris Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan, milik seluruh bangsa di dunia. Kita sebagai bangsa Indonesia tentu berbangga hati karena warisan karya leluhur kita mendapat penghargaan dunia.
Selain itu, juga karena leluhur Pande Wayan Suteja Neka dengan pungkusan (nama kehormatan) Pande Pan Nedeng adalah Mpu Keris dari Kerajaan Peliatan-Ubud semasa Raja Peliatan ke-3, Ida Dewa Agung Djelantik yang menduduki tahta pada abad 19 (1823-1845). Setelah Pande Pan Nedeng meninggal, pekerjaan sebagai mpu keris dilanjutkan oleh anaknya Pande Made Sedeng yang merupakan kumpi dari Pande Wayan Suteja Neka) sedangkan kakeknya bernama Pande Wayan Riyut, hidup sebagai petani. Pande Wayan Neka (1917-1980) adalah ayahnya, terkenal sebagai pematung dan menerima anugerah seni dari Pemerintah daerah Propinsi Bali (1960). Patung garuda yang dibuat setinggi 3 meter untuk New York World Fair, Amerika (1964), dan Expo’70 Osaka di Osaka, Jepang (1970). Di samping itu juga menerima anugerah seni Wija Kusuma dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dan penghargaan seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali (1995).
Pande Wayan Suteja Neka sendiri (pendiri Museum Seni Neka), juga pencinta dan kolektor keris. Sebilah keris pusaka (warisan leluhur) bernama “Ki Sesana” berada pada Pande Wayan Suteja Neka. Keris tersebut dengan Dapur Sabuk Inten, rincikannya: kembang kacang, jenggot, lambe gajah rangkap, jalen, sogokan dua, kruwingan, gusen, greneng lengkap, pamor beras wutah. Keris ini menggunakan ganja wilut, sogokan sampai setengah bilah menggunakan rincikan khusus (tinggil) pada depan ganja. Keris ini dibuat dan diperuntukkan bagi orang-orang khusus pada jamannya.
Keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka di Banjar Pande, Peliatan-Ubud yang memelihara warisan keris pusaka yang masih utuh dan indah adalah alm. Sira Mpu Santa Pala, Jro Mangku Pande Md. Nesa, Jro Mangku Wyn. Nama, Pande Wyn. Tagel, Pande Md. Darta, Pande Md. Godet, Pande Wyn. Mahendra, Pande Nym. Danu, Pande Wyn. Darma, Pande Wyn. Mandi, Pande Md. Kenak dan beberapa lainnya. Khusus di Pura Penataran Pande, Peliatan-Ubud Nyungsung Pejenengan sebilah keris pusaka.
Koleksi keris ini diseleksi secara ketat oleh pakar dan pejuang keris Indonesia Ir. Haryono Haryoguritno dan KRAT. Sukoyo Hadi Nagoro (Mpu dan Pakar keris). Keris merupakan senjata tradisional yang sangat berperan dalam kehidupan manusia pada jaman dahulu maupun dimasa sekarang. Kebiasaan-kebiasaan memanfaatkan senjata keris baik sebagai senjata maupun sebagai benda berwasiat dan pelengkap upacara agama telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakan Hindu di Bali pada khususnya.
Pada 1970, Pande Wayan Suteja Neka untuk pertama kalinya membeli dua bilah keris di Toko Antik Jl. Diponogoro, Klungkung. Kedua bilah keris tersebut dengan perlambang Singa Barong Luk 11 dan keris yang bersimbul Nagasasra Luk 13. Pada 4 Desember 2006, bilah keris Nagasasra Luk 11 itu dibawa langsung oleh Garrett Kam (kurator Museum Seni Neka) ke Yogyakarta, untuk ditatah emas pada ahli kinatah emas pada keris Nugroho Priyo Waskito di Yogyakarta. Selesai penggarapannya 1,5 bulan. Sekarang keris Nagasasra Luk 11 dengan kinatah emas terpajang di Museum Seni Neka. Koleksi Museum Seni Neka terdapat beberapa keris tua karya mpu masa lalu, bekas koleksi Wayan Tika (kolektor keris kenamaan) dari Banjar Pande, Bangli, yang rela melepas lebih dari 30 bilah koleksi keris tuanya yang dikoleksi sejak 1970-an. Wayan Tika rela melepas koleksi kerisnya karena akan dilestarikan dalam pengembangan koleksi Museum Seni Neka. Disamping itu kolektor keris lainnya seperti kolektor keris Wayan Roja dan Pande Wayan Ritug dari Batuan, Sukawati, Gianyar, juga rela melepas koleksi kerisnya karena akan dilestarikan di sebuah museum.
Museum Seni Neka memiliki koleksi 218 bilah keris, termasuk 13 bilah keris bekas keris pusaka. Keris karya mpu masa lalu/kuno lainnya 63 bilah (tidak sembarang keris kuno, syaratnya indah, tua dan utuh). Selebihnya adalah keris-keris hasil garapan mpu masa kini (asalkan memang indah). Terdapat karya-karya mpu Djeno Harumbrojo (1927-2006),(Yogyakarta), mpu KRAT Sukoyo Hadi Nagoro, mpu KRT Hartonodiningrat (Surabaya), mpu KRT Subandi Soponingrat (Solo), mpu M. Jamil ( Madura). Karya-karya keris hasil garapan penggarap berbakat lainnya juga turut dikoleksi seperti karya-karya: KRT. T. Junus Kartiko Adinegoro (Jakarta), A. Lutfi, Sulhan, Misradin, Bunali, Abdul Hadi Agus Basriady Mustopa (Madura), Heru Susilarto ( Muntilan,Yongyakarta), RT. Arum Fanani Notopuro (Singasari,Jawa Timur), RT. Suprapto Dipuro, B.Sc. (Madiun) lain-lain.
Beberapa keris juga merupakan hadiah dari mpu penggarapnya. Kurator keris Herman Tandijo dari Solo, menyumbangkan sebilah keris Naga Siluman Luk 3, pamor beras wutah, tangguh kamardikan, garapan mpu Ki Putra Singawijaya, Solo. Pada 29 April 2007, seorang kolektor keris dari Surabaya KRHT Cokro Sudaksono Gondokusumo (Drs. Ino, SH) menghadiahkan sebilah keris karya mpu Sukamdi (mpu keris kenamaan dari Solo) untuk dijadikan koleksi Museum Seni Neka. Kolektor keris A.A. Bagus Ngurah Agung, SH.MM (Penglingsir Puri Gede Karangasem) menghadiahkan satu bilah keris koleksinya pada Museum Seni Neka. Mpu keris Jro Mangku Ketut Sandi (Tatasan, Denpasar), menghadiahkan sebilah keris garapannya pajang 108 cm, luk 21, pamor beras wutah, Pande Made Godet, salah seorang keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka mewarisi dua bilah keris pusaka, sebilah keris pusakanya itu diserahkan untuk dilestarikan di Museum Seni Neka.
Khusus karya mpu dari Bali terdapat karya mpu keris Mangku Pande Made Wija dan anaknya Pande Ketut Mudra sebanyak 9 bilah keris, Diantaranya 4 bilah keris ditatah dengan emas oleh Nugroho Priyo Waskito (ahli kinatah dan tlasah keris kenamaan) dari Yogyakarta, termasuk keris dengan dapur segara muncar, panjang 70 cm, luk 21, pamor beras wutah. Keris-keris garapan mpu masa lalu dan mpu masa kini dikoleksi dan dipajang di Museum Seni Neka, dengan harapan dapat dijadikan pembanding dan dorongan pada penggarap keris masa kini lainnya. Untuk para kolektor keris kalau tidak beruntung mendapatkan keris tua/kuno yang indah dan utuh tidaklah akan mengurangi nilai koleksi, asalkan dilengkapi dengan keris karya mpu masa kini yang bernilai seni dan indah. Kemudian kalau keris itu diwariskan lama-kelamaan akan menjadi kuno.
Pengembangan koleksi Museum Seni Neka berupa “ Keris” dibuka dengan resmi oleh Ir. Jero Wacik, SE. (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI), pada 22 Juli 2007. Kurator “Keris” koleksi Museum Seni Neka KRAT Sukoyo Hadi Nagoro (Ketua Ikatan Empu Indonesia). Asistennya adalah M. Bakrin, SH., yang tinggal menetap di Klungkung, Bali.
Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas kesungguhannya mengabdikan diri pada seni, Suteja Neka telah menerima berbagai penghargaan, penghargaan Seni Dharma Kusuma dan medali emas dari Pemda Bali diterimanya tahun 1992, sementara Anugerah Seni dari Pemerintah RI diterima tahun 1993. Tahun 1997 Suteja Neka menerima Piagam Adikarya Pariwisata dari Pemerintah RI, Piagam Seni Wija Kusuma dari Pemda Gianyar, dan Heritage Award (Anugerah Warisan Budaya) dari Pasific-Asia Travel Association (PATA). Namun semua penghargaan itu tidak membuat Neka terhayut dalam kegembiraan berlebihan. Selain merasa bangga, karena apa yang dilakukannya dihargai. Pengharagaan ini juga merupakan beban sekaligus tanggung jawab untuk menjalani kehidupan berkesenian agar bisa berkembang dan berperan secara lebih luas sesuai tuntutan dan dinamika zaman. Museum Seni Neka telah membuktikan itu hingga usianya kini memasuki seperempat abad.

KERIS KI BAJU RANTE, Koleksi Andalan Museum Seni Neka

Keris ini berbentuk pedang, panjang 70 cm, rangka kojong kombinasi gading dan kayu pellet, danganan bebed duk, dibuat abad XVII, pada masa Raja Karangasem
Anak Agung Gde Putu (Raja Puri Gede, abad XVII). Kemudian (alm) A.A.A. Angelurah Ketut Karangasem (Raja Karangasem terakhir) secara pribadi menyerahkan keris ini kepada putranya Anak Agung Gde Rai Sutedja (sesuai dengan Surat Keterangan dibuat di bawah tangan bermaterai cukup, pada 8 Oktober 1989). Pada 2 April 1991, keris ini diemaskawinkan kepada Mangku Pande Wayan Tusan dari Banjar Pande Sari, Bebandem, Karangasem.
Pande Wayan Suteja Neka pertama kali melihat keris ini pada 15 Oktober 2006, saat upacara meajar-ajar ke pantai dan Pura Gowa Lawah, Klungkung. Upacara ini merupakan runtutan dari Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih lan Mupuk Pedagingan di Pura Penataran Pande, Peliatan, Ubud (7 Oktober 2006). Seusai upacara tersebut Pande Wayan Suteja Neka didampingi oleh anaknya Pande Nyoman Wahyu Suteja, Pande Made Tamanbali dan isterinya Pande Made Ekaswari mampir di rumah Jro Mangku Pande Wayan Tusan di desa Bebandem, Karangasem guna menyelesaikan transaksi pembelian satu perangkat gambelan Selonding antara Pande Wayan Suteja Neka dengan Jro Mangku Pande Wayan Tusan. Dalam kesempatan itu Mangku Pande Wayan Tusan menyampaikan rencananya akan mediksa/medwijati jadi Sira Mpu Pande. Keris koleksinya pada waktu itu diserahkan kepada Pande Wayan Suteja Neka untuk dilestarikan/dijadikan koleksi Museum Seni Neka. Keris ini tercatat pada buku yang berjudul GITA MAHAPITAYANA, 2000 oleh Pande Wayan Tusan. Dengan keterangan gambar panakep ring ajang (cover buku): Keris Pajenengan Puri Agung Karangasem “Ki Baju Rante” (Yasan Sira Pande, ngerttyang kawirbhujan Sang Prabhu).
Dengan menggunakan keris ini, bila menghadapi lawan diyakini akan memiliki kekuatan seperti baju rante baja, dan akan mampu menembus musuh yang menggunakan baju baja.

Senin, 23 Juni 2008

Trunyan, Desa dengan Seribu Keunikan


Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli.

Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur. Untuk mencapai lokasi harus menggunakan jasa perahu motor yang tersedia di pinggir danau Batur. Tarif Rp. 265 ribu per perahu PP, perjalan ke lokasi kurang lebih memakan waktu 20 menit.
Trunyan terkenal memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuno atau yang dikenal dengan sebutan Bali Aga (Bali Asli). Kabarnya, penduduk desa ini masih merupakan keturunan penduduk asli Pulau Bali yang hidup lama sebelum kedatangan Majapahit pada abad ke-14.
Masyarakat Trunyan memiliki adat pemakaman yang cukup unik. Dimana bila ada warga yang meninggal, jenasah ditaruh di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenasah diletakkan diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari dan tidak dibalsem, tetapi jenasah sama sekali tidak bau.
Rahasia mayat-mayat tidak menyebarkan bau busuk ternyata terletak pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk sampai akhirnya tinggal kerangka tulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini.
Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa lakukan. Upacara ngaben tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar (kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai dengan perahu.
Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “mepasah”.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan `ancak saji` yang terbuat dari sejenis bambu berbentuk kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.
Di Setra Wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya 5 liang berjejer untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di Setra Wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang.
Arca Da Tonta
Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.
Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun meru. Meru berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Meru bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Masyarakat Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
Sedangkan yang dikebumikan atau dikubur adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.Desa Trunyan
Desa dengan Seribu Keunikan
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur. Untuk mencapai lokasi harus menggunakan jasa perahu motor yang tersedia di pinggir danau Batur. Tarif Rp. 265 ribu per perahu PP, perjalan ke lokasi kurang lebih memakan waktu 20 menit.
Trunyan terkenal memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuno atau yang dikenal dengan sebutan Bali Aga (Bali Asli). Kabarnya, penduduk desa ini masih merupakan keturunan penduduk asli Pulau Bali yang hidup lama sebelum kedatangan Majapahit pada abad ke-14.
Masyarakat Trunyan memiliki adat pemakaman yang cukup unik. Dimana bila ada warga yang meninggal, jenasah ditaruh di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenasah diletakkan diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari dan tidak dibalsem, tetapi jenasah sama sekali tidak bau.
Rahasia mayat-mayat tidak menyebarkan bau busuk ternyata terletak pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk sampai akhirnya tinggal kerangka tulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini.
Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa lakukan. Upacara ngaben tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar (kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai dengan perahu.
Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “mepasah”.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan `ancak saji` yang terbuat dari sejenis bambu berbentuk kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.
Di Setra Wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya 5 liang berjejer untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di Setra Wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang.
Arca Da Tonta
Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.
Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun meru. Meru berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Meru bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Masyarakat Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
Sedangkan yang dikebumikan atau dikubur adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.Desa Trunyan
Desa dengan Seribu Keunikan
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur. Untuk mencapai lokasi harus menggunakan jasa perahu motor yang tersedia di pinggir danau Batur. Tarif Rp. 265 ribu per perahu PP, perjalan ke lokasi kurang lebih memakan waktu 20 menit.
Trunyan terkenal memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuno atau yang dikenal dengan sebutan Bali Aga (Bali Asli). Kabarnya, penduduk desa ini masih merupakan keturunan penduduk asli Pulau Bali yang hidup lama sebelum kedatangan Majapahit pada abad ke-14.
Masyarakat Trunyan memiliki adat pemakaman yang cukup unik. Dimana bila ada warga yang meninggal, jenasah ditaruh di atas batu besar yang memiliki cekungan 7 buah. Cekungan itu sendiri terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenasah diletakkan diatas cekungan batu dengan hanya dipagari bambu anyam secukupnya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari dan tidak dibalsem, tetapi jenasah sama sekali tidak bau.
Rahasia mayat-mayat tidak menyebarkan bau busuk ternyata terletak pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk sampai akhirnya tinggal kerangka tulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini.
Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya orang Bali biasa lakukan. Upacara ngaben tidak berlaku bagi penduduk Trunyan. Di daerah ini, jenasah tidak dibakar (kremasi), melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa yang hanya bisa dicapai dengan perahu.
Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenasah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenasah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena `salah pati` ataupun `ulah pati` (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi di sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan ini, mereka harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya tergolong unik, yaitu dikenal dengan istilah “mepasah”.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat, diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya, dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan `ancak saji` yang terbuat dari sejenis bambu berbentuk kerucut, digunakan untuk memagari jenasah.
Di Setra Wayah ini, terdapat 7 liang lahat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan sisanya 5 liang berjejer untuk masyarakat biasa. Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di Setra Wayah berserakan tengkorak-tengkorak manusia yang tidak ditanam maupun dibuang.
Arca Da Tonta
Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.
Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun meru. Meru berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Meru bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Masyarakat Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
Sedangkan yang dikebumikan atau dikubur adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.