Sabtu, 05 Juli 2008

Suteja Neka, Pejuang Seni yang Tak Kenal Pamrih

Dibalik semangat ‘Hidup Seribu Tahun Lagi’ ternyata terbentang kemuliaan yang tak ternilai harganya. Suteja Neka merupakan pejuang yang telah menyelamatkan karya seni. Dan itu dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi sebagai sumber informasi, sumber inspirasi, sarana pendidikan, sarana penelitian dan dapat menunjang program pemerintah dalam pengembangan pariwisata budaya

Kalau di Bali ada Dewi Saraswati sebagai simbul ilmu pengetahuan, kesenian dan kebijaksanaan, di Yunani dikenal Dewi Muse untuk tujuan yang sama. Dari kata muse ini kemudian menjadi museum. Museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Dilihat dari sudut etimologi, sebuah museum didirikan bukan sekadar untuk memajang barang antik demi kepentingan penghobi seni, melainkan sebagai salah satu media untuk menimba ilmu pengetahuan sesuai dengan koleksi yang digelar dalam museum itu. Selain itu, museum juga didirikan untuk keberlanjutan informasi, pendidikan, dan penelitian.
Karena alasan itulah, Pande Wayan Suteja Neka mendirikan Museum Seni Neka. Disamping itu, Suteja Neka yang mengantongi ijasah Sekolah Guru Atas (SGA), namun kecintaanya pada dunia seni, lelaki kelahiran Peliatan 21 Juli 1939 ini, melepaskan predikat guru. Suteja Neka lebih memilih menjadi kolektor lukisan. Semua itu tidak terlepas dari semangat ‘Hidup Seribu Tahun Lagi’ seperti syair dalam saja karya Chairil Anwar. Dirinya ingin dikenang seperti seorang seniman yang telah melahirkan master piece, akan selalu dikenang namanya, sepertinya ‘Hidup Seribu Tahun Lagi’.
Sadar akan lahir tanpa bakat melukis dan juga mematung, Suteja Neka memilih menjadi kolektor seni dan mendirikan museum yang diberi nama Museum Seni Neka. Museum yang tererletak di pinggiran desa Ubud, tepatnya di jalan Raya Sanggingan, Kedewatan, Ubud, diresmikan pada 7 Juli 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef. Berdiri di atas tanah seluas 9.150 meter persegi dengan luas bangunan 2.640 meter persegi, terdiri dari tujuh bangunan dirancang sesuai dengan arsitektur tradisional Bali. “Walaupun bukan seniman, tetapi dengan mendirikan museum, nama Neka akan selalu diingat, seperti layaknya seniman besar,” ujar peraih berbagai penghargaan dari Presiden sampai Bupati ini.
Dibalik keinginan untuk selalu dikenang, ternyata terbentang kemuliaan yang tak ternilai harganya. Lewat museum yang didirikannya, sejarah seni lukis Bali bisa diselamatkan dan diwariskan pada anak cucu bangsa. Ayah dari empat orang anak ini, bekerja keras sampai ke luar negeri untuk ‘berburu’ lukisan untuk dipajang di museumnya.
Pada saat peresmian koleksinya sekitar 100 lukisan. Koleksi museum terus bertambah dan disajikan sedemikian rupa untuk menunjukkan perkembangan seni lukis sesuai dengan jenjang waktunya. Koleksi yang ditonjolkan terletak di gedung II (dua) lantai atas : 50 lukisan karya Arie Smit, sebagai penghormatan atas jasanya membidani kelahiran seni lukis gaya Young Artists di Ubud. Gedung VI (enam) lantai bawah: 10 karya Affandi sebagai maestro seni lukis Indonesia dan dilantai atas: 8 karya Rudolf Bonnet sebagai penghormatan atas jasanya mengembangkan seni lukis di daerah Ubud dan sekitarnya.
“Saya mengharapkan agar Museum Seni Neka menjadi sumber informasi, sumber inspirasi, sarana pendidikan, sarana penelitian dan dapat menunjang program pemerintah dalam pengembangan pariwisata budaya,” jelas Suami dari Gusti Made Srimin ini. Selain itu, museum yang didirikannya merupakan wadah untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budaya nasional dengan hasil karya seniman Bali tradisi maupun kontemporer, seniman Indonesia lainnya dan juga seniman kelahiran mancanegara yang teladan, mendapatkan inspirasi dari lingkungan alam dan budaya Bali.

Suteja Neka dan Keris
Kehidupan Pande Wayan Suteja Neka tidak bisa dilepaskan dengan keris, karena leluhurnya, Ki Pande Sesana Tamanbali. Eyang buyutnya dalam bahasa Bali disebut kelabnya dengan pungkusan (nama kehormatan) Pande Pan Nedeng adalah Mpu Keris dari Kerajaan Peliatan-Ubud semasa Raja Peliatan ke-3, Ida Dewa Agung Djelantik yang memegang tahta (1823-1845). Setelah Pande Pan Nedeng meninggal sebagai mpu keris dilanjutkan oleh anaknya Pande Made Sedeng (Kumpi dari Pande Wayan Suteja Neka).
Kakeknya bernama Pande Wayan Riyut, hidup sebagai petani. Pande Wayan Neka (1917-1980) adalah ayahnya, terkenal sebagai pematung. Membuat patung garuda setinggi 3 meter untuk New York World Fair, Amerika (1964), dan Expo’70 Osaka di Osaka, Jepang (1970). Menerima anugerah seni Wija Kusuma dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dan penghargaan seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali (1995). Pande Wayan Suteja Neka sendiri (pendiri Neka Art Museum), juga pencinta dan kolektor keris.
Sebilah keris pusaka (warisan leluhur) bernama “Ki Sesana” berada pada Pande Wayan Suteja Neka. Keris tersebut dengan Dapur Sabuk Inten, rincikannya: kembang kacang, jenggot, lambe gajah rangkap, jalen, sogokan dua, kruwingan, gusen, greneng lengkap, pamor beras wutah. Keris ini menggunakan ganja wilut, sogokan sampai setengah bilah menggunakan rincikan khusus (tinggil) pada depan ganja. Keris ini dibuat dan diperuntukkan bagi orang-orang khusus pada jamannya.
Pande Wayan Suteja Neka sebagai pemilik museum memberanikan diri untuk membedah pusaka-pusaka yang berwujud keris untuk mengkonfirmasikan kepada para penglingsir-penglingsir Puri karena eratnya hubungan mpu keris dengan keraton. Apalagi Pande Wayan Suteja Neka leluhurnya adalah mpu keris Kerajaan Peliatan yang mengabdi pada raja Peliatan. Pande Wayan Suteja Neka akan membedah keris-keris pusaka koleksinya untuk belajar mencari pengalaman untuk menjabarkan apa yang tertera dalam keris pusaka yang dilestarikan di museumnya.
Karena menganggap bahwa Museum Seni Neka merupakan ‘merajan atau pura’ seni bagi keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka dan keturunannya. Penyungsung dan pemaksan pura seni ini adalah keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka baik di pihak purusa maupun pradana, segala pengabdian yang diberi adalah untuk lestarinya Museum Seni Neka dan dengan sendirinya seni rupa yang mengabadikan keindahan alam dan budaya Bali (ajeg Bali) akan tetap lestari sepanjang masa.
Pada 1970, Pande Wayan Suteja Neka untuk pertama kalinya membeli dua bilah keris. Kedua bilah keris tersebut dengan perlambang Singa Barong Luk 11 dan keris yang bersimbul Nagasasra Luk 13. Pada 26 Nopember 2006, bilah keris Nagasasra Luk 13 itu, ditatah emas pada ahli kinatah emas, Nugroho Priyo Waskito di Yogyakarta. Sekarang keris Nagasasra Luk 13 dengan kinatah emas terpajang di Neka Art Museum.
Koleksi Neka Art Museum terdapat beberapa keris tua karya mpu masa lalu, para kolektor keris rela melepas koleksi kerisnya, karena akan dilestarikan dalam pengembangan koleksi Museum Seni Neka. Museum Seni Neka memiliki koleksi 218 bilah keris, termasuk 18 bilah keris pusaka dari Kerajaan-kerajaan di Bali. Keris karya mpu masa lalu/kuno 63 bilah (tidak sembarang keris kuno, syaratnya indah, tua dan utuh). Selebihnya adalah keris-keris hasil garapan mpu masa kini (asalkan memang indah). Terdapat karya-karya mpu Djeno Harumbrojo (1927-2006), mpu KRAT Sukoyo Hadi Nagoro, mpu KRT Hartonodiningrat, mpu KRT Subandi Soponingrat, mpu M. Jamil. Karya-karya keris hasil garapan penggarap berbakat lainnya juga turut dikoleksi seperti karya-karya: KRT. T. Junus Kartiko Adinegoro, A. Lutfi, Sulhan, Misradin, Bunali, Heru Susilarto, RT. Arum Fanani Notopuro, Abdul Hadi, RT. Suprapto Dipuro, B.Sc, Agus Basriady Mustopa dan lain-lain. Beberapa keris juga merupakan hadiah dari mpu penggarapnya.
Keris-keris garapan mpu masa lalu dan mpu masa kini dikoleksi dan dipajang di Neka Art Museum, dengan harapan dapat dijadikan pembanding dan dorongan pada penggarap keris masa kini lainnya. Untuk para kolektor keris kalau kurang beruntung mendapatkan keris tua/kuno yang indah dan utuh tidaklah mengurangi nilai koleksi, apabila dilengkapi dengan karya penggarap keris masa kini yang garapannya memang indah mengandung nilai seni.

Selasa, 01 Juli 2008

Keiichi Baba Pameran di Museum Neka

Memasuki usia ke-26, Neka Art Museum telah membuat program pameran. Ada tiga pameran utama yang akan dilangsungkan tahun ini. Pertama pameran dari pelukis asing yang mengabadikan Bali dalam karyanya, kedua pameran dari seniman akademik dan ketiga pameran bersama pelukis internasional.
Neka Art Museum bekerjasama dengan Asia Development Organization (ADO) mengadakan pameran KEIICHI BABA EXHIBITION . Pameran ini dilaksanakan dalam rangka memperingati 50 tahun hubugan Indonesia dengan Jepang. Pameran dibuka Konsul Jepang Eiichi Suzuki, Minggu (29/6) dan berlangsung sampai 3 Juli 2007.
Menurut, Pendiri Neka Art Museum, Pande Wayan Suteja Neka, Perjalanan Neka Art Museum sendiri dengan Jepang sudah berlangsung panjang. Pada tahun 1970 Wayan Neka, orang tua kami mengadakan pameran patung garuda di Indonesian Pavillion at Expo 70 di Osaka, Jepang.
Lukisan kontemporer saat ini telah menjadi menu penting dalam hidangan seni lukis di Bali. Pameran HUMAN DIG AT THE ISLAND OF GODS merupakan keterlibatan Neka Art Museum dalam menyajikan perkembangan lukisan kontemporer di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pelukis ini menggunakan media ekspresi yang tidak biasa. Cardboard, merupakan media utama sang pelukis KEIICHI BABA yang lahir di Tokyo, Jepang tahun 1974. Ekspresi sang pelukis dalam karyanya mencoba menyerap spirit Bali.
Media utama ini “dirusak” kemudian diciptakan karya seni. Destruction dan Creation merupakan bagian dari spirit Hindu Bali dalam kehidupan. Diantara dua terminologi itu ada nilai maintenance kehidupan. Dalam bahasa religi Hindhu Bali ada utpeti, sthiti dan pralina. Mencipta, memelihara dan melebur. Siklus ini bisa menjadi melebur (destruction), mencipta (creation) dan memelihara (maintenance). “Benang merah pameran ini adalah seni dan budaya Bali dilihat dari sudut pandang orang asing. Karena Neka Art Museum mempunyai misi mengabadikan Bali dalam karya seni,” ujarnya.