Minggu, 11 Januari 2009

Topeng Bali

Dari Hiburan Hingga Ritual

Di Bali Topeng bukan hanya sekedar seni tari belaka, tetapi topeng juga menjadi suatu keharusan dalam ritual keagamaan karena itu sering juga disebut dengan topeng wali.


Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.
Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng penuh (yang menutup seluruh muka penari), topeng setengah (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng penuh tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng setengah memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Drama tari topeng yang ada di Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat Bali.
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat pendukungnya telah membuat drama tari topeng ini hingga kini mendapat tempat yang cukup istimewa dihati masyarakat, khususnya Hindu yang ada di Bali maupun orang Bali yang ada diluar Bali.
Namun sebelumnya perlu kiranya diketahui, seni pertunjukan mempergunakan topeng di bali sudah berkembang sejak zaman pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah istilah seperti: atapukan yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat alat penutup muka (topeng). Selain itu, Di Bali ditemukan beberapa buah prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah prasasti Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng sebagai atapukan. Disamping itu keberadaan topeng juga disebutkan dalam prasasti Blantih sekiktar tahun 1059 masehi. Selain itu, ada juga prasasti tentang petopengan yaitu prasasti Ularaan Plasraya. Dalam prasasti itu diceritakan tentang pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel antara tahun 1460-1550. pada masa itu Dalem Waturenggong berniat menaklukan kerajaan Blambangan. Dikirimlah pasukan tentara dibawah pimpinan Ki Patih Ularan dan ditemani I Gusti Jelantik Pesimpangan. Dalam pertempuran tersebut Sri Dalem Juru, raja Blambangan, kepalanya dapat dipenggal dan Blambangan dapat ditaklukan. Sebagai bukti telah menaklukan Blambangan dirampaslah beberapa barang, diantaranya dua buah gong, satu keropang wayang gambuh dan satu peti topeng.
Pada masa pemerintahan Wirya Sirikan, sekitar tahun 1879 oleh I Gusti Jelantik, topeng yang jumlahnya 21 buah itu dipindahkan ke Blahbatuh, kini topeng-topeng itu disimpan di pura Penataran Topeng yang berada di Blahbatuh, Gianyar. Dari 21 buah topeng tersebut, enam diantaranya yang mem kai canggem sebagai alat memegang, topeng itulah yang diperkirakan berasal dari Jawa, karena sebagin besar topeng Jawa menggunakan canggem.
Di Bali selain topeng yang di Blahbatuh, juga terdapat juga topeng sakral didaerah Ketewel, Sukawati, yaitu topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng. Topeng ini bermuka wanita sehingga disebut Topeng Widyadari atau Bidadari,. Topeng itu ada tujuh buah, yaitu topeng Widyadari Kendran, Nilotama, Gagar Mayang, Sulasih, Gudita, Supraba dan Aminaka.
Di Desa Trunyan terdapat Topeng Brutuk yang sering disebut Batara Brutuk. Di Desa Trunyan sebuah pura bernama Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa busana setinggi empat meter yang bernama Batara Datonta atau Batara Ratu Pancering Jagat. Batara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan topeng Brutuk. Wajah topeng-topeng itu menyerupai topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Topeng-topeng Brutuk itu ditarikan oleh anggota sekaa taruna. Sebelum menari para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari.
Selain itu, terdapat juga Barong yang merupakan topeng yang berwujud binatang, mitologi yang memiliki kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket juga dianggap sebagai manifestasi dari Banaspati Raja, atau Raja Hutan. Orang Bali menganggap seekor singa sebagai Raja Hutan yang paling dahsyat. Dalam pementasan tari Barong, figur Barong Ket dijadikan lambang kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang kalah. Namun di luar konteks seni pergelaran, kedua figur itu disandingkan sebagai pelindung masyarakat. Selain Barong Ket, di Bali terdapat beberapa jenis Barong lainnya, seperti Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Macan, dan Barong Asu.
Ada juga Barong Landung dari segi wujudnya berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Barong Landung diduga manifestasi dari perkawinan Dalem Balingkang (Jaya Pangus) dengan Putri Cina bernama Kang Ching Wie. Perkawinan itu tidak direstui oleh Batari Batur, yang kemudian mem-pralina keduanya. Sebagai tonggak peringatan, maka keduanya diwujudkan ke dalam pratima kecil dan disembah di Pura Batur. Sebagai wujud besarnya, kedua pratima itu dibuat dalam bentuk Barong Landung, laki-laki dan perempuan, Jero Gede dan Jero Luh.
Barong Dingkling atau Wayang Wong disebut juga Barong Blas-blasan. Ciri khas penampilan Barong Dingkling adalah meloncat-loncat dan kemudian berpisah-pisah satu sama lain untuk mencari sasarannya. Barong Dingkling yang tapelnya berupa topeng-topeng wanara seperti Sugriwa, Anoman, Anggada, Menda, dan Jumawan, merupakan tari penolak bala dan hama. Setiap tokoh itu mengusir hama-penyakit. Para wanara yang meloncat-loncat keriangan, dengan bunyi-bunyi ngore seperti monyet, menggetarkan pohon-pohon kelapa pertanda ritual pembersihan dilakukan.
Ada juga topeng Rangda, nama lain dari Calonarang -- janda dari Desa Girah (Dirah) yang mempraktikkan desti (ilmu hitam) berwujud sebuah topeng yang sangat mengerikan. Biasanya menggambarkan sifat kejahatan dalam dramatari Calonarang. Rangda sebagai sungsungan (sakral) hampir tak pernah dipisahkan keberadaannya dengan Barong Ket. Keduanya distanakan sebagai makhluk dahsyat yang bisa memberi perlindungan kepada masyarakat penyungsungnya. Hampir setiap desa di Bali memiliki kedua tokoh ini yang sebagai penjaga keselamatan desa.
Yang terakhir adalah Topeng Babad yang menggunakan babad sebagai sumber lakonnya. Ada dua jenis Topeng Babad yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan dimainkan oleh seorang penari (aktor) yang sendirian menarikan 8-12 tokoh berbeda dalam sebuah pementasan. Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena ia berfungsi untuk sarana upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang Lemah. Sedangkan Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari.

Jenis-jenis Dramatari Topeng di Bali

Topeng Pajegan
Kata pajegan mengacu kepada kegiatan pedesaan masyarakat Bali agraris, yang kini bisa diterjemahkan dengan ''memborong''. Penari Topeng Pajegan memborong semua peran yang ada di dalam cerita. Yang ada hanya seorang pemain, dan cerita berkembang dengan seutuhnya lewat satu pemain. Pada intinya, Topeng Pajegan adalah ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu. Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan adalah orang yang tinggi tingkatan spiritualnya, karena dia harus memberikan pencerahan kepada masyarakat (penonton) apa inti upacara itu, apa tujuan upacara, dan apa akibatnya apabila upacara ini tidak dilaksanakan. Seorang penari Topeng Pajegan adalah seorang pendharma wacana yang piawai, sekaligus memiliki kemampuan bercerita seperti seorang dalang.
Topeng Pajegan, topeng yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat di dalam topeng. Di dalam Topeng Pajegan ada sebuah topeng yang mutlak harus ada yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng pajegan ini dengan upacara keagamaan maka topeng inipun disebut topeng Wali.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang diaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ''restu'' dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng Sidakarya.
Legenda dibalik pementasan Topeng Sidakarya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel yang akan mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Tiba-tiba ada seorang Brahmana walaka—bukan pendeta—dari Keling, Madura mengaku akan men ari saudaranya yang tiada lain adalah Dalem Waturenggong. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tak diundang itu saudara Dalem Waturenggong. seorang pandita. Maka, Brahmana Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Brahmana Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan memohon kepada Brahmana Keling agar karya yang dilaksanakan menjadi sida (diberkahi). Jika mampu mka Brahmana Keling akan diakui sebagai saudara dan diberi gelar dalem Sidakarya.
Selanjutnya, Dalem Waturenggong menitahkan agar setiap upacara atau karya yang dilaksanakan orang Bali menggunakan Topeng Sidakarya sebagai pemuput upacara atau mohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya, berupa catur wija dan panca taru.

Topeng Panca
Drama tari topeng yang ditarikan oleh 5 (lima) orang penari. Topeng ini timbul di Denpasar sekitar tahun 1915. Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari. Topeng ini merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca ini berkembang menjadi Topeng Sapta, dengan tambahan penari Putri dan Condong.

Topeng Prembon
Dramatari topeng yang sudah dikombinasikan dengan unsur drama tari Bali lainnya (biasanya dari arja) namun strukturnya patopengannya masih tetap dominan. Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada. Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai Prembon. Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942, Prembon lahir dari penggabungan seni Topeng dan Arja. Lakon yang ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah lainnya sebagaimana halnya dramatari. Di daerah Gianyar, Prembon yang banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetantrian.