Museum Seni Neka, yang pendiriannya mendapat inspirasi dari ketokohan I Wayan Neka (1917-1980) seorang pemahat spesialis patung garuda anggota Pita Maha dibuka tahun 1976. Namun, museum milik Pande Wayan Sutaja Neka ini baru diresmikan pada tahun 1982 oleh Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Dibangun diatas area seluas sekitar 10.000 meter persegi dengan luas bangunan sekitar 4.000 meter persegi, Museum Seni Neka kini memiliki delapan gedung. Gedung itu dibagi menjadi ruang-ruang dan tiap ruang diisi koleksi yang menggambarkan sejarah perjalanan seni lukis di Bali. “ Dengan menelusuri ruang demi ruang itu, orang sudah mendapat referensi yang cukup tentang sejarah seni lukis Bali dan Indonesia umumnya.
Koleksinya yang kini mencapai lebih dari 400 lukisan dari semula hanya 100 buah, membuktikan museum ini memdapat sentuhan penanganan yang serius. Bahkan di museum ini juga ada dua pavilion khusus yang memajang karya-karya pelukis legendaris I Gusti Nyoman Lempad dan bapak Young Artist Arie Smit. Maka tak berlebihan jika Museum Seni Neka kini menempati posisi sebagai salah satu museum swasta terdepan di Tanah Air.
Pengelompokan ini memang bak menuntun pengunjung menelusuri sejarah perkembangan seni lukis di Bali serta tokoh-tokohnya. Pertama, pengunjung diajak mengapresiasi lukisan gaya wayang klasik (seperti karya Mangku Mura, I Nyoman Mandra, dan Nyoman Arcana), kemudian lukisan gaya Ubud (karya I Gusti Ketut Kobot A.A Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, dan Ida Bagus Rai ), gaya Batuan (karya Ida Bagus Wija, Ida Bagus Togog hingga generasi I Made Budi dan I Wayan Bendi), gaya Young Artist (karya I Nyoman Tjakra, I Ketut Soki dan I Made Sinteg), lukisan kontemporer Bali (karya Ida Bagus Nyoman Rai, I Gusti Made Deblog, hingga Dewa Nyoman Batuan, I Nyoman Gunarsa, Made Wianta, dan Nyoman Erawan hingga Pande Ketut Taman, karya seni lukis kontemporer Indonesia (karya Srihadi Sudarsono, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Fadjar Sidik, Bagong Kussudiardja, hingga Widayat dan 10 karya sang maestro Affandi). Selain itu ada ruangan yang memajang karya pelukis mancanegara seperti karya Rudolf Bonnet, Willem Gerard Hofker, Donald Friend, Han Snel, Theo Meier, Paul Husner serta Antonio Maria Blanco.
Memasuki usia 25 tahun, Museum Seni Neka mengembangkan koleksinya berupa, karya mpu keris masa lalu dan masa kini. Pengembangan museum dengan koleksi keris tidak terlepas dari pengakuan UNESCO. UNESCO sebagai badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan sejak 25 Nopember 2005 mengukuhkan Keris Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan, milik seluruh bangsa di dunia. Kita sebagai bangsa Indonesia tentu berbangga hati karena warisan karya leluhur kita mendapat penghargaan dunia.
Selain itu, juga karena leluhur Pande Wayan Suteja Neka dengan pungkusan (nama kehormatan) Pande Pan Nedeng adalah Mpu Keris dari Kerajaan Peliatan-Ubud semasa Raja Peliatan ke-3, Ida Dewa Agung Djelantik yang menduduki tahta pada abad 19 (1823-1845). Setelah Pande Pan Nedeng meninggal, pekerjaan sebagai mpu keris dilanjutkan oleh anaknya Pande Made Sedeng yang merupakan kumpi dari Pande Wayan Suteja Neka) sedangkan kakeknya bernama Pande Wayan Riyut, hidup sebagai petani. Pande Wayan Neka (1917-1980) adalah ayahnya, terkenal sebagai pematung dan menerima anugerah seni dari Pemerintah daerah Propinsi Bali (1960). Patung garuda yang dibuat setinggi 3 meter untuk New York World Fair, Amerika (1964), dan Expo’70 Osaka di Osaka, Jepang (1970). Di samping itu juga menerima anugerah seni Wija Kusuma dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dan penghargaan seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali (1995).
Pande Wayan Suteja Neka sendiri (pendiri Museum Seni Neka), juga pencinta dan kolektor keris. Sebilah keris pusaka (warisan leluhur) bernama “Ki Sesana” berada pada Pande Wayan Suteja Neka. Keris tersebut dengan Dapur Sabuk Inten, rincikannya: kembang kacang, jenggot, lambe gajah rangkap, jalen, sogokan dua, kruwingan, gusen, greneng lengkap, pamor beras wutah. Keris ini menggunakan ganja wilut, sogokan sampai setengah bilah menggunakan rincikan khusus (tinggil) pada depan ganja. Keris ini dibuat dan diperuntukkan bagi orang-orang khusus pada jamannya.
Keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka di Banjar Pande, Peliatan-Ubud yang memelihara warisan keris pusaka yang masih utuh dan indah adalah alm. Sira Mpu Santa Pala, Jro Mangku Pande Md. Nesa, Jro Mangku Wyn. Nama, Pande Wyn. Tagel, Pande Md. Darta, Pande Md. Godet, Pande Wyn. Mahendra, Pande Nym. Danu, Pande Wyn. Darma, Pande Wyn. Mandi, Pande Md. Kenak dan beberapa lainnya. Khusus di Pura Penataran Pande, Peliatan-Ubud Nyungsung Pejenengan sebilah keris pusaka.
Koleksi keris ini diseleksi secara ketat oleh pakar dan pejuang keris Indonesia Ir. Haryono Haryoguritno dan KRAT. Sukoyo Hadi Nagoro (Mpu dan Pakar keris). Keris merupakan senjata tradisional yang sangat berperan dalam kehidupan manusia pada jaman dahulu maupun dimasa sekarang. Kebiasaan-kebiasaan memanfaatkan senjata keris baik sebagai senjata maupun sebagai benda berwasiat dan pelengkap upacara agama telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakan Hindu di Bali pada khususnya.
Pada 1970, Pande Wayan Suteja Neka untuk pertama kalinya membeli dua bilah keris di Toko Antik Jl. Diponogoro, Klungkung. Kedua bilah keris tersebut dengan perlambang Singa Barong Luk 11 dan keris yang bersimbul Nagasasra Luk 13. Pada 4 Desember 2006, bilah keris Nagasasra Luk 11 itu dibawa langsung oleh Garrett Kam (kurator Museum Seni Neka) ke Yogyakarta, untuk ditatah emas pada ahli kinatah emas pada keris Nugroho Priyo Waskito di Yogyakarta. Selesai penggarapannya 1,5 bulan. Sekarang keris Nagasasra Luk 11 dengan kinatah emas terpajang di Museum Seni Neka. Koleksi Museum Seni Neka terdapat beberapa keris tua karya mpu masa lalu, bekas koleksi Wayan Tika (kolektor keris kenamaan) dari Banjar Pande, Bangli, yang rela melepas lebih dari 30 bilah koleksi keris tuanya yang dikoleksi sejak 1970-an. Wayan Tika rela melepas koleksi kerisnya karena akan dilestarikan dalam pengembangan koleksi Museum Seni Neka. Disamping itu kolektor keris lainnya seperti kolektor keris Wayan Roja dan Pande Wayan Ritug dari Batuan, Sukawati, Gianyar, juga rela melepas koleksi kerisnya karena akan dilestarikan di sebuah museum.
Museum Seni Neka memiliki koleksi 218 bilah keris, termasuk 13 bilah keris bekas keris pusaka. Keris karya mpu masa lalu/kuno lainnya 63 bilah (tidak sembarang keris kuno, syaratnya indah, tua dan utuh). Selebihnya adalah keris-keris hasil garapan mpu masa kini (asalkan memang indah). Terdapat karya-karya mpu Djeno Harumbrojo (1927-2006),(Yogyakarta), mpu KRAT Sukoyo Hadi Nagoro, mpu KRT Hartonodiningrat (Surabaya), mpu KRT Subandi Soponingrat (Solo), mpu M. Jamil ( Madura). Karya-karya keris hasil garapan penggarap berbakat lainnya juga turut dikoleksi seperti karya-karya: KRT. T. Junus Kartiko Adinegoro (Jakarta), A. Lutfi, Sulhan, Misradin, Bunali, Abdul Hadi Agus Basriady Mustopa (Madura), Heru Susilarto ( Muntilan,Yongyakarta), RT. Arum Fanani Notopuro (Singasari,Jawa Timur), RT. Suprapto Dipuro, B.Sc. (Madiun) lain-lain.
Beberapa keris juga merupakan hadiah dari mpu penggarapnya. Kurator keris Herman Tandijo dari Solo, menyumbangkan sebilah keris Naga Siluman Luk 3, pamor beras wutah, tangguh kamardikan, garapan mpu Ki Putra Singawijaya, Solo. Pada 29 April 2007, seorang kolektor keris dari Surabaya KRHT Cokro Sudaksono Gondokusumo (Drs. Ino, SH) menghadiahkan sebilah keris karya mpu Sukamdi (mpu keris kenamaan dari Solo) untuk dijadikan koleksi Museum Seni Neka. Kolektor keris A.A. Bagus Ngurah Agung, SH.MM (Penglingsir Puri Gede Karangasem) menghadiahkan satu bilah keris koleksinya pada Museum Seni Neka. Mpu keris Jro Mangku Ketut Sandi (Tatasan, Denpasar), menghadiahkan sebilah keris garapannya pajang 108 cm, luk 21, pamor beras wutah, Pande Made Godet, salah seorang keluarga besar Pande Wayan Suteja Neka mewarisi dua bilah keris pusaka, sebilah keris pusakanya itu diserahkan untuk dilestarikan di Museum Seni Neka.
Khusus karya mpu dari Bali terdapat karya mpu keris Mangku Pande Made Wija dan anaknya Pande Ketut Mudra sebanyak 9 bilah keris, Diantaranya 4 bilah keris ditatah dengan emas oleh Nugroho Priyo Waskito (ahli kinatah dan tlasah keris kenamaan) dari Yogyakarta, termasuk keris dengan dapur segara muncar, panjang 70 cm, luk 21, pamor beras wutah. Keris-keris garapan mpu masa lalu dan mpu masa kini dikoleksi dan dipajang di Museum Seni Neka, dengan harapan dapat dijadikan pembanding dan dorongan pada penggarap keris masa kini lainnya. Untuk para kolektor keris kalau tidak beruntung mendapatkan keris tua/kuno yang indah dan utuh tidaklah akan mengurangi nilai koleksi, asalkan dilengkapi dengan keris karya mpu masa kini yang bernilai seni dan indah. Kemudian kalau keris itu diwariskan lama-kelamaan akan menjadi kuno.
Pengembangan koleksi Museum Seni Neka berupa “ Keris” dibuka dengan resmi oleh Ir. Jero Wacik, SE. (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI), pada 22 Juli 2007. Kurator “Keris” koleksi Museum Seni Neka KRAT Sukoyo Hadi Nagoro (Ketua Ikatan Empu Indonesia). Asistennya adalah M. Bakrin, SH., yang tinggal menetap di Klungkung, Bali.
Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas kesungguhannya mengabdikan diri pada seni, Suteja Neka telah menerima berbagai penghargaan, penghargaan Seni Dharma Kusuma dan medali emas dari Pemda Bali diterimanya tahun 1992, sementara Anugerah Seni dari Pemerintah RI diterima tahun 1993. Tahun 1997 Suteja Neka menerima Piagam Adikarya Pariwisata dari Pemerintah RI, Piagam Seni Wija Kusuma dari Pemda Gianyar, dan Heritage Award (Anugerah Warisan Budaya) dari Pasific-Asia Travel Association (PATA). Namun semua penghargaan itu tidak membuat Neka terhayut dalam kegembiraan berlebihan. Selain merasa bangga, karena apa yang dilakukannya dihargai. Pengharagaan ini juga merupakan beban sekaligus tanggung jawab untuk menjalani kehidupan berkesenian agar bisa berkembang dan berperan secara lebih luas sesuai tuntutan dan dinamika zaman. Museum Seni Neka telah membuktikan itu hingga usianya kini memasuki seperempat abad.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar