Selasa, 24 Juni 2008

Pura Samuan Tiga, Cikal Bakal Berdirinya Khayangan Tiga

Sejarah pendirian Pura Samuantiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya prasasti prakempa, purana ataupun babad sampai saat ini belum banyak diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan tentang keberadaan Pura Samuantiga.

Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana, Semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Samuantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X. Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. Seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah.
Samuatiga secara etimologi. Kata Samuantiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan atau penyatuan tiga hal atau musyawarah segitiga. Dalam lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, disebutkan pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuantiga sampai sekarang.
Pemberian nama Samuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna.
Pelaksanaan musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Dalam Babad Pasek disebutkan, saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga.
Pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan Kahyangan Tiganya. Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah : Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai. Kemudian Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis).
Mengingat pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah berkembang. Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti. Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya.
Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Masyarakt pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada Hal ini karena pura Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Siat sampian 
Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, punya tradisi menghelar siat sampian (perang sampian). Atraksi bernuansa magis itu selalu digelar saat piodalan. Ratusan warga berpakian adat putih-putih saling memukulkan sampian dari bahan janur. Para penari laki disebut sebagai parekan (abdi) dan penari wanita dinamakan permas. Namun, permas umumnya orang yang sudah berusia uzur. Mereka mengenakan kampuh (kain) warna hitam dan setelan baju warna putih. Jumlah penari siat sampian bisa 350 sampai 450 orang.
Ketua Paruman Pura Samuan Tiga, Wayan Patera menyebutkan kepada Koran ini menjelaskan, penari yang terlibat disini tidak ditentukan. Mereka menari sukarena berdasar keyakinannya. "Tidak ada proses pemilihan penari," kata Patera yang juga Prebekel Bedulu. Menariknya, penari siat sampian kebanyakan warga yang sebelumnya mendapatkan berbagai cobaan hidup, misalnya sakit lama. Saat itulah mereka berkaul untuk menari sampian bila bisa sembuh.

Ngambeng Ke Rumah-Rumah
Puluhan bocah sejak pagi terlihat di jalan-jalan di lingkungan desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar. Bahkan, mereka terlihat memasuki rumah-rumah penduduk. Mereka memasuki rumah penduduk untuk meminta pelbagai hasil bumi untuk kegiatan Upacara agama atau Odalan di Pura Samuan Tiga. Dan kegiatan ini memang tergolong unik, karena sangatlah jarang menjelang odalan di Pura, anak -anak masuk rumah beramai -ramai untuk meminta pemilik rumah menyerahkan sejumlah hasil bumi yang dimiliki.
Seperti yang dijelaskan oleh, I Wayan Patra, Ketua Paruman Pura Samuan Tiga mengatakan, kegiatan ini sudah dilakukan sejak berdirinya Pura Samuan Tiga di abad ke X , dan tradisi ini dilakukan secara turun -temurun di Desa Pekraman Bedulu, Blahbatuh, Gianyar.
Menurut kepercayaan penduduk setempat anak-anak tersebut dianggap lugu, dan perawan. Dan anak-anak yang rata-rata berumur 8-13 tahun tersebut dianggap sebagai simbolis Dewa yang memberikan piteket ( tanda) kepada penduduk bahwa odalan bakal tiba, dan penduduk diharapkan untuk bersiap sedia menyambut odalan.
"Tradisi ngambeng ( mempertajam) atau piteket ini merupakan tradisi turun temurun di wilayah kami menjelang piodalan di Pura Samuan Tiga," jelasnya.
Mereka melakukannya dengan spontan pada saat 15 hari sebelum odalan dimulai, dan hal ini dilakukan selama 1 Minggu, setelah mereka mendapatkan hasil bumi dan diserahkan kepada pengurus Pura, mereka mendapatkan ganti ( pica) berupa makanan untukdibawa pulang.

Tidak ada komentar: